Suka dan duka apapun bentuk esensinya sebenarnya sama, dan ekspresi yang
ditunjukkan setelah menemuinyapun sama. Permasalahan utamanya adalah
bagaimana sikap kita dalam menghadapi suka dan duka yang kita alami.
Hanya saja kita kadang melupakan duka ketika kita sedang diliputi
kebahagiaan dan melupakan suka ketika mengalami kesusahan. Padahal bisa
saja Allah menimpakan duka dan suka dalam waktu yang bersamaan. Dan
biasanya kita mempunyai kecenderungan untuk lebih mendramatisir kedukaan
kita sehingga menjadi kengerian yang amat sangat bagi jiwa kita dan
kedukaan itu akan selalu ada dalam ingatan kita.
Ketika badai kedukaan itu terjadi, akan tampak kenyataan sejati kita
sebagai manusia... merasakan kehampaan, kesunyian, kering kerontang dan
tanpa arti.
Karena telah menjadi fitrah kita sebagai manusia, akan menemukan
kehampaan diri ketika kita sedang diterjang badai kehidupan, seperti
gelapnya masa depan dan kekacauan nasib yang datang silih berganti.
Bahkan bisa jadi tanpa henti seakan tidak memberikan sedikitpun
ruang bagi kita untuk menarik nafas dan bersiap-siap untuk bertahan.
Nah... dalam kondisi seperti ini biasanya kita akan terpuruk dan
putus asa, namun jika kita orang yang cerdar, barulah kita menyadari
hakekat kita sebagai manusia dihadapan kekuatan alam dan kekuatan Allah.
Sadar bahwa diri kita hanyalah sebungkah debu ditengah gurun pasir yang
kuas. Kita hanyalah manusia biasa dengan kekuatan dan kekuasaan yang
amat terbatas.
Ketika musibah terjadi, kadang kita kehilangan akal sehat, bahkan
menjadi gila atau ingin mengakhiri hidup. Kita tak sanggup menahan beban
hidup yang kita alami. Akal sehat kita tak berfungsi secara normal. Tak
jarang kitapun mengutuk Allah dan memprotes perbuatanNya yang kita
pandang tak adil.
Memang manusiawi, penderitaan hidup sering melahirkan kehampaan
batin dalam diri kita. Sebab biasanya kita belum siap menerimanya.
Kebanyakan dari kita akan merasa kuat dan gagah dalam menerima
kebahagiaan daripada kesedihan. Oleh karenanya, oleh agama kita di
ajarkan untuk mawas diri atau muraqabah dan mengakui keterbatasan
kemampuan sebagai sesuatu yang alami yang harus diterima apa adanya.
Maka wajar jika kita diperintahkan oleh agama untuk menyerahkan
persoalan kita yang tak sanggup kita kuasai kepada Allah. Sebab, di
Dunia dan di akhirat, Dia-lah yang menguasai hidup manusia.
Memang benar, bahwa kita dikaruniai kebebasan untuk memilih dan
berikhtiar, namun kita tidaklah sepenuhnya menguasai jalan hidup kita
sendiri. Jika tidak begini, kita akan mengalami kegoncangan psikologis
yang tak terbandingkan ketika diri kita mengalami musibah yang berada di
luar jangkauan kemampuan kita.
Setidaknya kita harus mampu menerima penderitaan sebagai sebagian
jalan yang harus kita tempuh dari hidup kita sebagai manusia yang secara
fitrah tak memiliki daya upaya kecuali sangatlah terbatas.
Kesadaran seperti ini yang mendorong kita untuk bersikap arif,
bersujud dihadapan Allah seraya mengakui ke"dhaif"an kita. Sehingga
penderitaan tidak dipandang sebagai akhir dari kehidupan ataupun sebagai
sebuah bentuk ketidak adilan Allah terhadap diri kita. Dengan sikap
seperti ini kita akan mampu bertahan dalam penderitaan dan berupaya
dengan segenap kemampuan untuk mencapai kebahagiaan.
Jadi secara garis besar intinya adalah
"Penderitaan kan melahirkan kehampaan batin jika kita memaknainya
sebagai azab namun akan melahirkan ketabahan jika kita memaknainya
sebagai ujian yg harus kita lewati".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar