welcome

Marquee Text Generator - http://www.marqueetextlive.com

Senin, 29 April 2013

Sabar dalam Suka dan Tabah dalam Duka

Suka dan duka apapun bentuk esensinya sebenarnya sama, dan ekspresi yang ditunjukkan setelah menemuinyapun sama. Permasalahan utamanya adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi suka dan duka yang kita alami.

Hanya saja kita kadang melupakan duka ketika kita sedang diliputi kebahagiaan dan melupakan suka ketika mengalami kesusahan. Padahal bisa saja Allah menimpakan duka dan suka dalam waktu yang bersamaan. Dan biasanya kita mempunyai kecenderungan untuk lebih mendramatisir kedukaan kita sehingga menjadi kengerian yang amat sangat bagi jiwa kita dan kedukaan itu akan selalu ada dalam ingatan kita.

Ketika badai kedukaan itu terjadi, akan tampak kenyataan sejati kita sebagai manusia... merasakan kehampaan, kesunyian, kering kerontang dan tanpa arti.
Karena telah menjadi fitrah kita sebagai manusia, akan menemukan kehampaan diri ketika kita sedang diterjang badai kehidupan, seperti gelapnya masa depan dan kekacauan nasib yang datang silih berganti.
Bahkan bisa jadi tanpa henti seakan tidak memberikan sedikitpun ruang bagi kita untuk menarik nafas dan bersiap-siap untuk bertahan.
Nah... dalam kondisi seperti ini biasanya kita akan terpuruk dan putus asa, namun jika kita orang yang cerdar, barulah kita menyadari hakekat kita sebagai manusia dihadapan kekuatan alam dan kekuatan Allah. Sadar bahwa diri kita hanyalah sebungkah debu ditengah gurun pasir yang kuas. Kita hanyalah manusia biasa dengan kekuatan dan kekuasaan yang amat terbatas.

Ketika musibah terjadi, kadang kita kehilangan akal sehat, bahkan menjadi gila atau ingin mengakhiri hidup. Kita tak sanggup menahan beban hidup yang kita alami. Akal sehat kita tak berfungsi secara normal. Tak jarang kitapun mengutuk Allah dan memprotes perbuatanNya yang kita pandang tak adil.

Memang manusiawi, penderitaan hidup sering melahirkan kehampaan batin dalam diri kita. Sebab biasanya kita belum siap menerimanya. Kebanyakan dari kita akan merasa kuat dan gagah dalam menerima kebahagiaan daripada kesedihan. Oleh karenanya, oleh agama kita di ajarkan untuk mawas diri atau muraqabah dan mengakui keterbatasan kemampuan sebagai sesuatu yang alami yang harus diterima apa adanya. Maka wajar jika kita diperintahkan oleh agama untuk menyerahkan persoalan kita yang tak sanggup kita kuasai kepada Allah. Sebab, di Dunia dan di akhirat, Dia-lah yang menguasai hidup manusia.
Memang benar, bahwa kita dikaruniai kebebasan untuk memilih dan berikhtiar, namun kita tidaklah sepenuhnya menguasai jalan hidup kita sendiri. Jika tidak begini, kita akan mengalami kegoncangan psikologis yang tak terbandingkan ketika diri kita mengalami musibah yang berada di luar jangkauan kemampuan kita.

Setidaknya kita harus mampu menerima penderitaan sebagai sebagian jalan yang harus kita tempuh dari hidup kita sebagai manusia yang secara fitrah tak memiliki daya upaya kecuali sangatlah terbatas.
Kesadaran seperti ini yang mendorong kita untuk bersikap arif, bersujud dihadapan Allah seraya mengakui ke"dhaif"an kita. Sehingga penderitaan tidak dipandang sebagai akhir dari kehidupan ataupun sebagai sebuah bentuk ketidak adilan Allah terhadap diri kita. Dengan sikap seperti ini kita akan mampu bertahan dalam penderitaan dan berupaya dengan segenap kemampuan untuk mencapai kebahagiaan.
Jadi secara garis besar intinya adalah
"Penderitaan kan melahirkan kehampaan batin jika kita memaknainya sebagai azab namun akan melahirkan ketabahan jika kita memaknainya sebagai ujian yg harus kita lewati".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar